Rabu, 15 Juni 2016

TUGAS ARTIKEL
ARTIKEL TENTANG “Penyebab Hilangnya Semangat Siswa Untuk Mengikuti Kegiatan Ibadah di Bulan Ramadhan, Baik di Lingkungan Sekolah Maupun Tempat Tinggal
diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Penulisan editorial dan opini


Oleh
SUMYATI
NMP 882010112093

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2016


Hal yang menjadi penyebab hilangnya semangat siswa untuk mengikuti kegiatan ibadah di bulan ramadhan, baik di lingkungan sekolah maupun tempat tinggal antara lain.
1.     Keadaan fisik yang lemas dan mengantuk
2.     Banyak masalah dalam diri atau galau
3.     Sakit fisik atau hati
4.     Rasa malas
5.     Kurangnya motivasi dari orang terdekat
6.     Kurangnya perhatian
7.     Godaan dari teman
8.     Lingkungan keluarga yang tidak mendukung
9.     Kurangnya kesadaran diri
10.  Lapar dan haus
11.  Tidak tahu pahala yang didapat ababila banyak beribadah pada saat bulan ramadhan
12.  Waktu belajar terlalu banyak
13.  Cuaca panas
TIPS SEMANGAT BELAJAR SAAT BERPUASA
Tidak terasa sudah seminggu lebih kita menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Selama bulan Ramadhan, otomatis jadwal dan aktivitas kita sedikit berubah. Di mulai dari jadwal sarapan pagi yang berubah menjadi makan sahur serta hilangnya asupan energi dari makan siang beralih ke berbuka saat maghrib tiba. Juga jadwal ibadah malam yang bertambah lebih panjang karena melaksanakan shalat tarawih berjamaah.
Meskipun demikian, puasa seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengurangi aktivitas belajar kita. Bagaimanapun belajar merupakan hal penting yang tidak boleh ditinggalkan untuk memperoleh ilmu terutama bagi seorang pelajar. Apalagi selama bulan Ramadhan amal ibadah kita akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah SWT, jadi selain mendapat ilmu, belajar di bulan Ramadhan juga insyaallah membawa berkah.
Tidak dipungkiri kadang badan kita kurang begitu terbiasa beraktivitas berat saat menjalankan ibadah puasa, sehingga perasaan letih, lelah, malas dan kurang semangat belajar sering timbul. Nah, berikut adalah beberapa tips agar kita tetap semangat belajar selama berpuasa :

1.     Laksanakan puasa dengan senang hati
Berpuasa akan terasa ringan saat kita melaksanakannya dengan senang hati. Jauhkan pikiran bahwa kita berpuasa semata-mata terpaksa karena memenuhi kewajiban saja. Jika kita berpuasa dengan senang hati, kita akan melaksanakan kegiatan dengan sungguh-sungguh tanpa diliputi rasa malas.
2.     Biasakan makan sahur
Makan sahur wajib dilakukan karena dari sahur kita mendapatkan nutrisi dan energi  untuk kegiatan seharian. Saat sahur, makanlah makanan yang bergizi  tidak hanya sekedar mengenyangkan sehingga energi dan nutrisi kita terpenuhi secara optimal.
3.     Usahakan tidur siang
Jika mempunyai kesempatan untuk tidur siang, tidurlah beberapa saat. Tidur akan membantu kita mengurangi kepenatan serta menghindarkan rasa kantuk yang berlebihan sebagai akibat kegiatan ibadah kita yang lebih panjang pada malam hari serta membuat badan dan otak kita menjadi lebih segar.
4.     Belajar sore hari sebelum berbuka puasa
Belajar sore hari sebelum berbuka puasa akan lebih baik daripada setelah berbuka puasa. Setelah berbuka puasa biasanya perut akan terasa sangat kenyang dan timbul rasa kantuk sehingga timbul rasa malas untuk belajar. Belajarlah setelah bangun dari tidur siang dan melaksanakan ibadah shalat Ashar, sekalian menunggu saat berbuka puasa.
5.     Berbuka dengan tidak berlebihan
Berbukalah dengan makanan yang manis dan tidak berlebihan. Makan berlebihan saat berbuka akan membuat lambung kita bekerja lebih keras dan mungkin akan menimbulkan rasa sakit dan begah di perut yang akan menghambat aktivitas kita. Awali buka puasa dengan minum air madu atau kurma, lanjutkan dengan makan besar setelah shalat maghrib.
6.     Hindari tidur setelah sahur
Jangan tidur setelah sahur karena  tubuh memerlukan waktu untuk melakukan pencernaan makanan. Tidur kembali setelah sahur cenderung membuat kita menjadi malas dan ngantuk saat harus beraktivitas. Gunakan waktu setelah subuh untuk kembali belajar ringan sambil menunggu saat pagi tiba untuk kembali beraktivitas seperti biasa.
7.     Minum air putih pada malam hari
Memperbanyak minum air putih pada malam hari akan membantu mengurangi dehidrasi saat siang hari serta melancarkan sirkulasi darah sehingga badan akan tetap sehat saat berpuasa. Jika badan sehat, maka aktivitas belajar kita juga tidak terganggu.

Indramayu, 15 Juni 2016. Posted by Sumyati


Senin, 30 Mei 2016

MENINGKATKAN MORALITAS GENERASI PENERUS BANGSA DENGAN TIGA LINGKUNGAN PENDIDIKAN FORMAL, NON FORMAL, DAN INFORMAL

TUGAS ARTIKEL
ARTIKEL YANG BERTEMA “TINGKATKAN MORALITAS GENERASI PENERUS BANGSA DENGAN KEBERMAKNAAN TIAP PEMBELAJARAN, FORMAL, NON FORMAL, DAN INFORMAL”
diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Penulisan editorial dan opini



Oleh
SUMYATI
NMP 882010112093

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2016

MENINGKATKAN MORALITAS GENERASI PENERUS BANGSA DENGAN TIGA LINGKUNGAN PENDIDIKAN FORMAL, NON FORMAL, DAN INFORMAL


Cara meningkatkan moralitas generasi penerus bangsa dengan melihat tripusat pendidikan yaitu manusia sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari tiga lingkungan pendidikan yang utama yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat dan ketiganya disebut tripusat pendidikan. Lingkungan pendidikan yang mula-mula tetapi terpenting adalah keluarga. Pada masyarakat yang masih sederhana dengan struktur sosial yang belum kompleks, cakrawala anak sebagaian besar masih terbatas pada keluarga. Pada masyarakat tersebut keluarga mempunyai dua fungsi: Fungsi produksi dan fungsi konsumsi. Kedua fungsi itu mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap anak.
Kehidupan masa depan anak pada masyarakat tradisional umum tidak jauh berbeda dengan kehidupan orang tuanya. Pada masyarakat tersebut, orang tua mengajar pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup; orang tua pula yang melatih dan memberi petunjuk tentang berbagai aspek kehidupan, sampai anak menjadi dewasa dan berdiri sendiri. Tetapi pada masyarakat modern di mana industrialisasi semakin berkembang dan memerlukan spesialisasi, maka pendidikan yang semula menjadi tanggung jawab keluarga itu kini sebagian besar diambil alih oleh sekolah dan lembaga-lembaga sosial lainnya.
Pada tingkat yang paling permulaan fungsi ibu sebagai sudah diambil alih oleh pendidikan prasekolah. Pada tingkat spesialisasi yang rumit, pendidikan keterampilan sudah tidak berada pada ayah lagi sebab sudah diambil alih oleh sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Bahkan fungsi pembentukan watak dan sikap mental pada masyarakat modern berangsur-angsur diambil alih oleh sekolah dan organisasi sosial lainnya seperti perkumpulan pemuda dan pramuka, lembaga-lembaga keagamaan, media massa, dan sebagainya.Peranan lingkungan sangat berpengaruh terhadap kemajuan dan prestasi pendidikan. Hal ini dikarenakan setiap individu yang terlibat dalam proses pendidikan saling berinteraksi menjadi satu kesatuan dengan lingkungannya.
Lingkungan pendidikan sendiri dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu:
1.     pendidikan Formal
2.     pendidikan Informal
3.     pendidikan Non Formal
Pendidikan dalam lingkungan keluarga memiliki peranan penting terhadap perkembangan anak. Orang tua bertanggung jawab terhadap semua peningkatan dan kemajuan pendidikan anak-anaknya. Begitu juga dengan lingkungan sekolah, disana para guru bertanggung jawab terhadap kemajuan prestasi anak didiknya. Selain lingkungan keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat juga sangat berperan penting dalam peningkatan prestasi anak didik yaitu dengan peran sertanya dalam pendidikan luar sekolah.
Pendidikan merupakan hal mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap individu, baik anak-anak, dewasa maupun orang tua. Ada istilah mengatakan “tidak ada kata terlambat untuk belajar” Betapa penting dan perlunya pendidikan itu bagi anak-anak. Dan jelaslah pula mengapa anak-anak itu harus mendapat pendidikan. “Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan”. “Pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat”.

Lingkungan adalah kesatuan tempat dan unsur yang membentuk dan mendukung suatu komunitas baik kecil maupun besar yang menjadi pendukung hidup dalam kehidupan suatu makhluk hidup. Lingkungan dapat berupa biotik (hidup) maupun abiotik (tak hidup). Selain unsur yang nampak ada juga unsur yang tidak nampak seperti sifat, kelakuan, pola pikir, ideolodi, keyakinan, dan sebagainya. Selain itu lingkungan dapat diartikan pula sebagai tempat berkumpulnya satu individu dengna individu lainnya.
1.     Lingkungan Formal ( Sekolah)
Lingkungan formal adalah lingkungan tempat berkumpulnya individu satu dengan individu lain di sebuah tempat belajar/sekolah. Di antara tiga pusat pendidikan, sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Seperti telah dikemukakan bahwa karena kemajuan zaman, keluarga tidak mungkin lagi memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi generasi muda terhadap iptek. Semakin maju suatu masyarakat semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan masyarakat itu.
Dari sisi lain, sekolah juga menerima banyak kritik atas berbagai kelemahan dan kekurangannya, yang mencapai puncaknya dengan gagasan Ivan Illich untuk membebaskan masyarakat dari wajib sekolah dengan buku yang terkenal Bebas dari Sekolah. Meskipun gagasan itu belum dapat diwujudkannya, termasuk di negara Meksiko, namun kritik terhadap sekolah patut mendapat perhatian.
Oleh karena itu, kajian ini terutama diarahkan kepada pencarian berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peranan dan fungsi sekolah untuk tantangan. Asumsi kajian ini adalah sekolah harus diupayakan sedemikian rupa agar mencerminkan suatu masyarakat Indonesia di masa depan itu, sehingga peserta didik memperoleh peluang yang optimal dalam menyiapkan diri untuk melaksanakannya peran itu. Oleh karena itu, sekolah seharusnya menjadi pusat pendidikan untuk menyiapkan manusia Indonesia sebagai individu, warga masyarakat, warga negara dan warga dunia di masa depan.
2.     Lingkungan Non Formal (Keluarga)
Lingkungan Non Formal adalah lungkungan atau tempat berkumpulnya individu satu dengan individu lainnya dalam satu keluarga. Keluarga merupakan pengelompokan primer yang terdiri dari sejumlah kecil orang karena hubungan semenda dan sedarah. Keluarga dapat berbentuk inti maupun keluarga yang diperluas . Pada umumnya jenis kedualah yang banyak ditemui dalam masyarakat Indonesia. Meskipun ibu merupakan anggota keluarga yang mula-mula paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, namun pada akhirnya seluruh anggota keluarga itu ikut berinteraksi dengan anak.
Di samping faktor iklim sosial itu, faktor-faktor lain dalam keluarga itu ikut pula mempengaruhi tumbuh kembangnya anak, seperti kebudayaan, tingkat kemakmuran, keadaan perumahannya, dan sebaginya. Dengan kata lain, tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh keseluruhan situasi dan kondisi keluarga.
3.     Lingkungan Informal (Masyrakat)
Lingkungan Informal adalah lingkungan atau tempat berkumpulnya individu satu dengan individu lainnya dalam satu lingkungan, baik dalam lingkungan desa satu ataupun dengan desa lainnya. Kaitan antara masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau dari tiga segi yaitu:
a.      masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan, baik dilembagakan maupun yang tidak dilembagakan.
b.     Lembaga-lembaga kemasyarakatan dan/atau kelompok sosial di masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung, ikut mempunyai peranan dan fungsi edukatif.
c.      Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang maupun yang dimanfaatkan. Perlu pula diingat bahwa manusia dalam bekerja dan hidup sehari-hari akan selalu berupaya memperoleh manfaat dari pengalaman hidupnya itu untuk meningkatkan dirinya. Dengan kata lain, manusia berusaha mendidik dirinya sendiri dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia di masyarakatnya dalam bekerja, bergaul, dan sebagainya.
Masalah-Masalah Yang Mempengaruhi dalam Lingkungan Pendidikan
a.      Masalah pendidikan Formal
Pendidikan formal umumnya didirikan oleh pemerintah atau lembaga tertentu yang berkompeten dalam bidang pendidikan. Contohnya Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan seterusnya. Pendidikan formal ini selain didirikan oleh pihak pemerintah juga didirikan pula oleh Pihak Swasta. Keberadaan pihak swasta menjadikan pendidikan formal semakin mudah untuk didapat.Dari keberadaan pendidikan formal, masalah yang sering muncul adalah kurangnya tenaga pendidik yang profesional. Banyak para guru dalam mengajar tidak menggunakan metode pengajaran yang baik dan kurangnya jiwa pendidik, mereka hanya bisa mengajar tapi tidak bisa mendidik.
b.     Masalah Pendidikan Non Formal
Pendidikan Non Formal berada dalam lingkungan keluarga. Baik buruknya pendidikan keluarga ditentukan oleh kepala keluarga masing-masing dalam memanajemen keluarganya. Masalah yang sering muncul dalam lingkungan pendidikan non formal adalah kurangnya perhatian keluarga kepada anak, minimnya keadaan keuangan keluarga sehingga banyak anak-anak mereka yang tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi.
c.      Masalah Lingkungan Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, selain yang bentuknya formal ada juga yang tidak formal. Masalah yang sring terjadi dalam pendidikan informal adalah kurangnya kesadaran masyarakat tentang pemahaman pendidikan, sehingga pergaulan dalam masyarakat menjadi rudak dan individu tersebut tidak bisa mengartikan betapa pentingnya pendidikan bagi dirinya sendiri kelak maupun bagi masyarakat sekitar.
Pengaruh Lingkungan Formal, Informal dan Non Formal terhadap Lingkungan Pendidikan
a.      Pengaruh Lingkungan Formal
Lingkungan sekolah, sangat berperan pada individu tersebut dimana ia bisa belajar dari mulai usai 4 tahun hingga 23 tahun atau dari mulai TK sampai Perguruan Tinggi. Dari guru atau sekolah individu dapat menerima berbagai pelajaran yang nantinya dapat digunakan untuk bergaul dalam lingkungan masyarakat. Pelajaran di sekolah baik yang pelajaran teori maupun praktek akan sangat bermanfaat bagi perkembangan individu di dalam lingkungan non formal dan informal.
Dalam lingkungan pendidikan formal ini seorang individu akan diajarkan banyak sekali pengetahuan yang belum pernah ia miliki, dari pengetahuan pribadi, sosial, keagamaan sampai ke pengetahuan yang berasal dari luar kebudayaannya. Di sini seorang individu akan mendapat pengakuan dan legalitas dengan didapatkannya surat tanda tamat belajar setelah ia berhasil melewati proses pembelajaran dengan kurun waktu tertentu.
Dengan pendidikan yang di dapatkan dari sekolah , seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu. Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.
Namun masalah, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya. Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah.
b.     Pengaruh Lingkung Non formal
Para ahli, baik Piaget maupun Kohlberg (Papalia, et.al, 1998; Parke dan Hetherington, 1994; Santrock, 1999; Singgih, 1991; Rice, 1993) nampaknya sependapat bahwa orang tua mempunya peran besar bagi pembentukan dan perkembangan moral seorang anak. Tanggunga jawab orang tua untuk menanamkan nilai-nilai moral, etika, budi pekerti bahkan nilai religiusitas sejak dini kepada anak-anaknya akan membekas di dalam hati sanubarinya. John Locke mengibaratkan bahwa hati dan otak pada diri seorang anak masih berupa lembaran kertas kosong putih bersih (tabula rasa). Lembaran itu masih bersifat murni, sehingga apapun yang terisi di atas lembaran itu sangat tergantung dari orang tua bagaimana ia menulis, mencoret, menggambar atau mewarnainya. Sementara itu, mendidik dan membimbing anak pun merupakan sebuah seni tersendiri. Tergantung bagaimana tipe pola asuh yang dipergunakan oleh orang tua dalam membimbing anak-anaknya, apakah ia menggunakan pola asuh otoriter, permisif, demokratis, atau situasional.
Demikian pula, pendidikan yang telah diterima sejak masa anak-anak akan mempengaruhi pola piker dan perilaku dalam diri remaja. Karena itu, tidak bias diabaikan peran dan tanggung jawab orang tua, yang kemudian mendapat pengaruh dari lingkungan pendidikan (sekolah), media masa, maupun situasi social politik Negara. Seorang psikolog yang mendirikan aliran ekologis. Urie Brofenbrenner mengungkap bahwa microsystem, mesosystem, exosystem, macrosystem, dan cronosystem, memang mempengaruhi pola piker, dan perilau individu, termasuk moralitasnya (Papalia, Olds dan Feldman, 1998;2001). Hal ini memang tergantung individu sejauh mana ia menyikapi semua system tersebut. Makin terampil dalam menyerap nilai-nilai positif dan menjauhi nilai-nilai negative, maka makin baik pula ia dalam menerapkan nilai-nilai moral itu dalam kehidupan bermasyarakat.
Di dalam keluarga individu dididik untuk menjadi seorang anak yang baik, yang tahu sopan santun dan etika serta mempunyai moral sifat yang terpuji. Selain dari keluarga pendidikan etika dan moral ini diperoleh juga dari pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal di masyarakat.
Dari mulai lahir seorang anak akan didik dalam lingkungan keluarga (non formal) dari yang tidak mengerti menjadi mengerti dan seterusnya hingga mereka dapat mengerti benar tentang bagaimana cara hidup yang baik, berprilaku dan bersopan santun. Selanjutnya seorang individu akan memasuki pendidikan Formal setelah mengalami penggembelengan dalam lingkungan pendidikan keluarga.
c.      Pengaruh Lingkungan Informal
Lingkungan pendidikan yang ketiga yang tidak kalah penting dan menjadi penentu berhasil tidaknya pendidikan pada lingkungan pendidikan non formal dan formal adalah pendidikan informal (pendidikan masyarakat). Di sini mereka akan bergaul langsung dengan masyarakat yang mempunyai beraneka ragam sifat dan kepribadian. Mereka dituntut untuk bisa mengaplikasikan hasil dari pendidikan keluarga dan sekolah. Di dalam lingkungan pendidikan informal seorang individu akan diberikan pembelajaran mengenai bagaimana menentukan sikap, bermusyawarah dan sebagainya.
Pendidikan innformal adalah pendidikan yang dilakukan secara teratur, dengan sadar dilakukan, tetapi tidak terlalu ketat mengikuti peraturan-peraturan yang tetap¸ seperti pada pendidikan formal di sekolah. Karena pendidikan informal pada umumnya dilaksanakkan tidak dalam lingkungan fasik sekolah, maka pendidikan informal diidentik dengan pendidikan luar sekolah. Oleh karena itu pendidikan informal dilakukan diluar sekolah, maka sasasran pokok adalah angota masyarakat.
Sebab itu program pendidikan informal harus dibuat sedermikian rupa agar bersifat luess tetapi lugas, mnamun tetap menarik minap para konsumen pendidikan. Berdasakan penelitian dilapangan, pendidikan informal sangat dibutuhakan oleh angota masyarat yang belum sempat mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal karena sudah perlanjur lewat umur atau terpaksa putus sekolah, karena suatu hal. Akhirnyan tujuan terpenting dari pendidikan informal adalah program-program yang didasarkan kepada masyarakat harus sejalan dan trintegrasi dengan program-program pembagunan yang di butuhkan oleh rakyat.
Ketiga lingkungan pendidikan baik Formal, Non Formal dan Informal sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan dan keberhasilan pendidikan seorang individu. Dari uraian di atas jelas pembelajaran yang didapatkan dari seorang individu tidak hanya berasal dari satu lingkungan pendidikan saja, melainkan dari ketiga lingkungan pendidikan sehingga antara yang satu dengan yang lain saling menyempurnakan dan akhirnya akan menghasilkan didikan yang ideal atau dalam istilah lain akan dihasilkan seorang insan kamil (manusia yang sempurna yang berguna bagi bangsa dan agama).

Indramayu, 30 Mei 2016. Posted by Sumyati




MAHASISWA KEKINIAN DENGAN MENULIS

TUGAS ARTIKEL
ARTIKEL TENTANG “MAHASISWA KEKINIAN DENGAN MENULIS
diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Penulisan editorial dan opini




Oleh
SUMYATI
NMP 882010112093

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2016

MAHASISWA KEKINIAN DENGAN MENULIS

Kekinian, kata yang bisa dibilang sangat popular saat ini. Bagaimana dengan “Mahasiswa Kekinian”? Apa yang terlintas dibenak kalian saat mendengar kalimat tersebut? Menurut Romeo, Mahasiswa Kekinian itu adalah mahasiswa yang selalu mengikuti zaman, selalu update tentang hal-hal baru, mengikuti perkembangan fashion.
Sebenarnya saya setuju dengan pendapat ini, tapi tulisan kali ini akan lebih mengedepankan opini yang sedang berkecamuk di otak saya. Saya mau menyoroti posisi mahasiswa sekarang dibandingkan dengan pergerakan mahasiswa zaman dulu. Mungkin ada yang ingat bagaimana hebatnya pergerakan mahasiswa dulu untuk merebut kemerdekaan melalui karya jurnalistik, atau pergerakan mahasiswa saat meruntuhkan kabinet  Soeharto. Itulah sedikit gambaran tentang bagaimana peran mahasiswa dulu.
 Sekarang ini mahasiswa seakan acuh terhadap masalah yang terjadi, banyak sekali mahasiswa yang tutup mata dengan ketidakadilan yang terjadi bahkan dihadapan mata mereka. Mungkin masih banyak yang menyuarakan ketidakadilan itu lewat media sosial, tapi bukankah satu tindakan lebih baik dari seribu kata? Tak ada yang salah dengan itu, tapi apa dengan menulis status menghujat dan menghina bisa memperbaiki sesuatu? Apa dengan status-status tak bermakna itu bisa membawa satu perubahan? Bahkan media sosial yang kalian gunakan tidak memiliki akses untuk bisa dilihat oleh pihak bersangkutan, apa itu yang dinamakan perjuangan? Apa itu yang dinamakan suara atas ketidakadilan?
Menulis memang dianjurkan, tapi kalau hanya berisi hujatan atau opini sesaat yang akan hilang jika permasalahan terselesaikan walau nyatanya masalah itu bisa kembali lagi lebih baik membantu memikirkan apa solusi yang bisa dilakukan. Di era globalisasi sekarang ini tak dapat dipungkiri media sosial memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Kalian pasti tahu paling tidak satu akun media sosial yang mengatasnamakan mahasiswa. Contoh saja di media sosial instagram, banyak sekali akun-akun tentang mahasiswa. Tapi saya yakin kalian tahu pasti apa yang sering mereka repost di akun-akun tersebut.
Memang benar kegiatan mahasiswa, tapi kegiatan semacam selfie atau sejenisnya itulah yang lebih banyak di-repost. Followers akun-akun tersebut juga terbilang banyak. Meskipun sesekali memposting kegiatan mahasiswa yang memang seharusnya dikedepankan, tapi lebih dominan menyoroti mahasiswa yang mereka anggap ganteng atau cantik. Salah satu post yang sangat popular dikalangan mahasiswa terutama saat ini adalah meme, sangat memprihatinkan memang (jika kalian memikirkan kembali apa seharusnya yang mereka dominankan dalam akun tersebut). Tapi ini juga bukan sepenuhnya salah para admin akun tersebut, mungkin mereka hanya mengikuti arus. Menyesuaikan diri dengan kehendak pasar, kehendak para followers mereka.
            Kita sebagai mahasiswa kekinian jangan hanya mampu menulis buah pikiran di media sosial facebook, BBM, Twitter, dan sejenisnya. Kita sebagai mahasiswa kekinian harus mampu menulis dan mengirimkannya ke blog atau ke media cetak supaya tulisan bermutu, karena dengan mengirim tulisan ke blog atau media cetak tulisan kita dianggap bermutu dan layak untuk dikonsumsi.
Adapun ciri-ciri mahasiswa kekinian dengan menulis karya yang bermutu antara lain.
1.     Mahasiswa kekinian yaitu mahasiswa yang memiliki softskill dan kemauan untuk mengenal dunia sekitar secara lebih luas lagi untuk menjadi sumber tulisan.
2.     Dalam karya tulisannya berguna bagi lingkungan masyarakat dan dapat membawa perubahan yang lebih baik.
3.     Karya tulisannya dikirim ke blog dan media cetak.
4.     Bertanggung jawab dengan tulisannya.
5.     Tulisannya tidak berisi hujatan, hinaan, dan lain sebagainya yang mengarah ke negatif.


Indramayu, 11 Mei 2016. Posted by Sumyati

Selasa, 17 Mei 2016

PENDIDIKAN TAK SEJAJAR DENGAN MORAL by Sumyati

TUGAS ARTIKEL
ARTIKEL TENTANG “PENDIDIKAN TAK SEJAJAR DENGAN MORAL”
diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Penulisan editorial dan opini



Oleh
SUMYATI
NPM 882010112093

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2016



PENDIDIKAN TAK SEJAJAR DENGAN MORAL


Pendidikan Agama telah diwajibkan di sekolah, lantas mengapa kemerosotan moral, atau setidaknya tingkah laku siswa yang "amoral" masih saja terjadi? Apakah pendidikan agama harus dihapuskan? Nampaknya mempertahankan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah akan jauh lebih baik daripada menghapuskannya. Pendidikan agama akan dapat ikut menanggulangi serta memberi prevensi terhadap masalah moralitas bangsa.
Pendidikan moral adalah pendidikan keteladanan. Tanpa keteladanan dan panutan, moral akan semakin pudar. Akhir-akhir ini kalangan birokrat, pendidik, orangtua, dan generasi muda Indonesia resah, khawatir, dan kecewa karena adanya krisis keteladanan. Peristiwa yang terjadi berapa waktu terakhir menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mengalami krisis. Mulai dari krisis ekonomi, identitas, sampai dengan krisis moral. Identifikasi penggunaan kekerasan dalam upaya mendirikan Negara Islam di Indonesia, misalnya, menjadikan masalah yang bersifat sangat segera untuk diatasi. Bermula dari penanaman ideologi dan kepercayaan pada satu bidang kepercayaan tertentu dari agama Islam, di halalkanlah berbagai cara untuk mewujudkan tujuan, pencabulan anak dibawah umur bahkan pelakunya seorang pendidik, tindakan bully terhadap teman, dan terutama sekarang yang lagi marak itu kejahatan seksual pada anak dibawah umur yang bernotabennya para pelajar baik SD, SMP, dan SMA.
Dimanakah akar kekerasan dan kejahatan kolektif semacam itu? Apakah sebagian masyarakat kita tengah mengalami krisis identitas diri yang bermuara pada krisis moral dan spiritual? Bangsa Indonesia mulai tercabut dari akar kepribadian, bangsa Indonesia tidak lagi berkarakter. Berbedakah dengan jaman dahulu, apakah jaman dahulu lebih baik dari saat ini? 
Pertanyaan-pertanyan tersebut muncul karena tindakan masyarakat saat ini tidak rasional, dan ambang batas toleransi masyarakat dalam menghadapi persoalan sangat tipis sekali. Hal-hal kecil dan sepele tidak jarang menyulut kekerasan kolektif ratusan bahkan ribuan massa, dan tidak jarang menimbulkan korban yang tidak sedikit. Pada sisi lain semakin transparannya KKN dalam kehidupan pemerintahan mengindikasikan bahwa selain masyarakat, ternyata pemerintah yang menjadi panutan warga Negara dalam berperilaku juga telah kehilangan legitimasi akhlak. 
Sampai dengan saat ini, paling tidak sistem pendidikan nasional bangsa Indonesia masih menyisakan persoalan-persoalan yang terkait dengan pemerataan kesempatan, mutu, relevansi, dan efisiensi. Begitu pun aspek Iain yang juga masih terkait dengan pendidikan, seperti kemerosotan akhlak dan moral masyarakat Indonesia. Beberapa indikatornya adalah masih banyaknya tawuran di berbagai tempat, pengedaran dan konsumsi narkoba, penyebaran HIV/AIDS, human traficking, pencabulan yang dilakukan oleh pendidik, tindakan bully terhadap teman, dan terutama sekarang yang lagi marak itu kejahatan seksual pada anak dibawah umur yang bernotabennya para pelajar baik SD, SMP, dan SMA.
Beberapa kasus di Indonesia membuktikan bahwa pendidikan tak sejajar dengan moral antara lain.
1.     Kasus tindakan bully yang dilakukan siswa tingkat SD di Sumatera barat, yaitu tindakan Siswa SD yang menampar, memukul, dan menerjang teman sekelasnya. Dilihat dari kasus itu jelas bahwa pendidikan itu tidak sejajr dengan moral.
2.     Kasus kejahatan seksual yang mengakibatkan korban meninggal, yaitu kasus Yuyun Pelajar SMP yang meninggal setelah 14 pemuda yang memperkosanya beramai-ramai dan kemudian membunuhnya dan pelakunya adalah pelajar. Kejadian itu terjadi di Padang Ulak Tanding, kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
3.     Kasus puluhan pelajar di Kabupaten Kendal yang melakukan pesta seks usai mengikuti ujian nasional (unas).
4.     Jawa Timur dihebohkan dengan kasus siswi pelajar SMA yang melelang keperawanannya. Gadis 17 tahun, sebut saja Mawar, itu menjual kegadisannya melalui seorang rekan seharga Rp 500.000.
5.     Tawuran antar pelajar kembali terjadi di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat antara SMA Wiyata Karisma dengan SMK Mensin di Kecamatan Kemang hingga menewaskan satu orang.
6.     Setelah diselidiki oleh polisi  indramayu konsumen Miras Oplosan di Indramayu Remaja 14-18 Tahun. Masyarakat yang mengonsumsi tuak di Indramayu ternyata didominasi oleh remaja. Sekitar 85 persen pembeli tuak di sejumlah lokasi perdagang miras adalah remaja dengan usia 14 hingga 18 tahun. Remaja tersebut masih berstatus pelajar atau juga putus sekolah. Salah satu penjual miras di Indramayu, NA (30) selama ini banyak remaja yang menjadi konsumennya. Tidak sekadar meminum tuak, mereka juga kerap mengoplos tuak dengan berbagai zat. Sebut saja minuman suplemen atau bahkan lotion obat nyamuk. Hal ini yang akhirnya membuat banyak pemuda yang tewas karena miras oplosan.

7.     Pesta miras di kuburan Blok Gabugan Wetan,  Desa Tegalwangi, Kec Weru, Kab Cirebon, Senin (7/3) lalu, sudah menewaskan  3 orang.  Ketiganya  Nendy (17), yang meninggal Selasa pagi (8/3),  Sanipan alias Ipan (19) dan Supriyanto (19) yang meninggal Rabu (9/3). Ketiganya warga Desa Tegalwangi. Ketiganya meninggal di RSUD Arjawinangun setelah mengalami muntah-muntah dan kejang usai menenggak ciu yang dicampur dengan minuman jeruk. Mereka memulai pesta miras sejak pukul 17.00. Ada 14 orang yang rata-rata masih ABG mengikuti pesta miras pada malam itu.Dari peserta pesta miras itu ada 2 perempuan yang masih berstatus pelajar SMP, yakni Diana (15) pelajar kelas 2 SMP dan Fina yang berusia 17 tahun. 
Dari penjelasan dan kasus diatas jelas bahwa pendidikan tidak sejajar dengan moral, lantas dalam hal ini siapa yang disalahkan? Apakah seorang guru yang kurang mendidik siswanya? Apakah orang tua kurang mendidik anaknya pada saat lepas dari sekolah? Apakah siswanya yang harus disalahkan?


Indramayu, 17 Mei 2016. Posted by Sumyati